Ketika aku mengayuh sepeda lipat putih kecilku dalam perjalanan menuju kampus, papan penanda suhu yang terpasang di salah satu jembatan yang kulalui menunjukkan suhu 4 derajat celcius. Tak heran, badanku rasanya menggigil terus. Kedua tanganku yang memegang stang terasa beku, sampai-sampai hampir tak bisa digerakkan (melupakan sarung tangan di saat-saat seperti ini adalah kesalahan besar). Musim dingin sudah benar-benar datang sekarang. Sebentar lagi suhu akan semakin turun, mencapai 0 derajat, dan salju mungkin akan turun—walau teman-temanku bilang salju tidak banyak turun di Kyoto.
Deretan pohon ichou—ginko—yang selalu kulewati setiap hari pun kini telah gundul. Daun-daun berbentuk kipasnya yang berubah warna menjadi kuning pekat beberapa saat lalu, telah habis berguguran disapu angin. Daun-daun merah pohon momiji favoritku di kampus pun kini tinggal tersisa beberapa helai saja, membuatku menghela nafas sedikit kecewa setiap melihatnya. Musim gugur adalah musim yang cantik, dan sekarang musim itu segera berlalu, digantikan musim dingin yang menusuk tulang.
Aku berhenti sesaat untuk memungut beberapa helai momiji yang gugur, berpikir untuk me-laminating dan membawanya pulang ke Indonesia. Daun-daun yang cantik. Sejujurnya aku belum puas menikmati keindahan momiji walaupun aku telah mengunjungi banyak tempat musim ini, sengaja untuk melihat warna-warni dedaunannya yang mempesona. Sebut saja Kinkakuji, Arashiyama, Kiyomizudera, Toufukuji, sengaja kudatangi tempat-tempat itu untuk menikmati indahnya momiji. Dan tetap saja aku belum puas. Aku ingin kembali kemari suatu saat nanti. Tekadku bulat sudah.
green, yellow, orange, red... colorful momiji
nearly winter in Toufukuji
Seperti masa itu, bertahun-tahun lalu, ketika aku membulatkan tekadku.
Tekad untuk menggapai sebuah mimpi.
The Turning Point
Seingatku waktu itu aku kelas 2 SMP. Di tengah hari-hari yang kulalui dengan mencorat-coret halaman belakang buku catatanku—dan buku catatan teman-temanku—aku mendapat sebuah kabar. Kabar gembira yang terpampang dalam beberapa helai poster di papan-papan pengumuman di sekolah. Poster-poster yang berwarna ungu-kuning itu (benar, aku bahkan masih ingat warnanya) mengabarkan dibukanya sebuah lomba komik berhadiah utama 10 juta rupiah. Jumlah yang tidak sedikit, apalagi untuk anak usia sekolah. Tentu saja aku langsung ingin ikut!
Aku juga masih ingat, seorang teman dari kelas sebelah—teman sesama penulis komik yang pertama kali kukenal—buru-buru memberitahukan kabar ini padaku dan bertanya apa aku mau ikut. Tentu saja, kujawab dengan mantap bahwa aku memang berencana untuk ikut.
Hari-hari penuh usaha keras menggambar komik pun dimulai. Waktu itu aku dibantu oleh mbak-ku tersayang (dia pasti tak suka aku pakai kata ini) untuk menyelesaikan sebuah cerita komik setebal 30 halaman. Aku mengarang cerita dan membuat sketsa, sementara mbak-ku yang waktu itu masih SMA membantuku mengedit dan mewarnainya dengan komputer. Kami membentuk duet yang kami—lebih tepatnya aku, dengan sedikit egois—beri nama ‘Intifadha Comic’. Setiap hari kami lembur, mengerjakan komik untuk lomba itu sampai tak bisa tidur cukup.
Pekerjaan menulis komik tidaklah mudah. Waktu itu kami juga masih sangat amatir. Benar-benar butuh perjuangan keras untuk menyelesaikan 30 halaman komik itu sebelum batas waktu penutupan lomba. Bahkan mas dan ibu-ku pun harus turun tangan. Waktu itu, mas-ku lah yang turut berpartisipasi memikirkan judul komik 30 halaman perdana kami. Judul yang akhirnya kami pilih waktu itu: ‘Najm, di Antara Berjuta Bintang’. Judul yang—rasanya—terlalu keren untuk komik dengan cerita aneh yang kubuat dengan terburu-buru. Ibuku pun akhirnya juga harus ikut membantu kami mengirimkan komik itu lewat kantor pos, sebab aku dan mbak-ku sudah tidak punya tenaga untuk itu. Menjelang deadline, hari-hari terasa sangat sibuk.
Pengalaman pertama membuat komik (lumayan) panjang itu membuatku sadar, bahwa menjadikan hobi sebagai pekerjaan itu bukan hal mudah. Seberapapun aku senang menggambar komik, tetap saja berat rasanya menghadapi tekanan deadline. Padahal sebelumnya, aku sempat bertekad untuk menjadikan komik sebagai impianku.
Aku, yang tidak suka bicara di depan banyak orang ini, bisa bicara banyak lewat komik. Aku, yang malas membuka mulut untuk berdebat ini, bisa menyampaikan pendapat lewat komik.
Komik adalah bahasa keduaku.
Tapi aku sadar, aku tidak (atau mungkin sedikit saja) punya bakat membuat komik. Gambarku biasa-biasa saja. Dan bagiku, seberapapun senangnya menggambar komik, pekerjaan sebagai komikus itu berat! Seandainya aku benar-benar ingin jadi komikus profesional pun, perjalanan yang harus ditempuh juga panjang. Harus banyak latihan. Banyak menggambar. Banyak bercerita.
Maka waktu itu, saat komik kami telah dikirim ke panitia lomba, aku membuat sebuah pertaruhan dengan diriku sendiri.
Jika aku bisa menang dalam lomba ini, aku akan terus menggambar komik. Aku akan mengejar impianku. Seberapapun beratnya. Dan jika aku kalah, maka aku akan berhenti sepenuhnya. Aku tak akan menggambar komik lagi.
Itulah titik balikku. Dan aku menanti jawaban…
Tooku tooku tsuzuku kono michi wa
Doko e doko e bokura hakonde kureta?
Itsuka itsuka itsuka mieru ka na?
Haruka haruka haruka niji no sora no mukou
(This long, long, never ending road
Where does it lead us to?
Someday, can we see?
The far, far way beyond the rainbow sky
Baby Baby — Kanjani8 — 8UPPERS)
-bersambung-
salmaaa....aku jadi kangen sama gambaranmu deh,, gambarin lagi sal :p
ReplyDeleteoya....aku mau tuh daun momijinya,, aku belum pernah liat
ReplyDeleteAhahahaha~ asiiik gambar geje ku ada yg ngangenin jugaaaa :D
ReplyDeletemomijinya ada sih, tp blm takbawa pulang XDD