Monday, December 6, 2010

Piece 1: Awal Sebuah Mimpi

            Lagu berjudul “Snow White” yang dilantunkan grup Kanjani8 mengalun dari pemutar musik laptopku, mengusir suasana sepi yang menyelubungi kamar mansion nomor 1813. Aku duduk memangku laptop merah tua itu di atas tempat tidur-berlapis-futon-ku. Suhu yang mencapai 10 derajat celcius membuatku terpaksa menyelubungi kakiku dengan dua lapis selimut, yang akan membuatku keringatan setengah mati jika saja aku sedang berada di Indonesia.
Panas yang berasal dari heater listrik yang kuletakkan di atas kursi di sisi kanan tempat tidur terasa menyengat di kulit. Tapi tidak ada pilihan lain, sebab aku belum berlangganan AC. Kalau heater itu kumatikan, aku pasti menggigil kedinginan sampai gigiku bergemeletuk. Tanpa sadar, kugaruk  tanganku yang mulai kering kehilangan kelembaban akibat pengaruh cuaca awal musim dingin. Inilah pengalaman pertamaku menghadapi perubahan empat musim.
Di sini. Jepang.

gerbang kampusku: Kyoto University of Education

Awal Sebuah Mimpi

            Aku masih ingat—walaupun tidak terlalu jelas—bahwa sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah sangat menyukai komik. Kalau tidak salah, waktu itu baru ada sedikit saja judul komik Jepang—manga—yang  diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dan dari  yang sedikit itu aku sangat suka Doraemon, Dragon Ball, Kungfu Boy, dan beberapa serial cantik karya Yu Asagiri yang aku sudah tak ingat lagi apa judulnya. Waktu itu aku juga lumayan sering nonton film kartun Jepang—anime—seperti Digimon atau Pokemon, dan kadang-kadang juga film kartun Amerika semacam Disney, Spiderman dan bahkan X-Men. Waktu itu aku belum kenal istilah manga dan anime, tapi tak bisa dipungkiri beberapa serial favoritku memang berasal dari negeri Sakura. Mungkin karena itu, aku jadi suka menggambar komik, dengan gaya yang meniru aliran manga.
            Aku pun masih ingat, betapa gaya gambarku waktu itu berbeda dengan anak-anak SD pada umumnya. Orangtuaku tahu aku suka menggambar, maka sejak kecil mereka sering mengikutkanku dalam lomba menggambar. Hanya saja belakangan aku baru sadar kalau cara menggambarku memang tidak pas untuk diikutkan dalam lomba menggambar. Umumnya, anak-anak usia SD—dalam lomba menggambar khususnya—akan menggunakan spidol besar untuk menggambar bermacam bentuk, lalu mewarnai bentuk itu dengan pastel warna warni. Aku tidak begitu. Aku akan menggambar pelan-pelan, sedetil yang aku bisa dengan pensil, lalu menebalkannya dengan spidol ukuran kecil, menghapus goresan pensilnya, baru mewarnai gambarku dengan spidol atau pensil warna—sebab pastel terlalu besar untuk digunakan mewarnai gambarku yang kecil-kecil. Makanya aku tidak pernah bisa menyelesaikan gambarku secepat anak-anak lain, karena proses menggambarku terlalu lama. Proses menggambarku itu… bukankah seperti proses menggambar komik?
            Aku mungkin tidak punya bakat menggambar komik dan komik buatanku tak pernah terlalu istimewa. Tetapi aku tahu satu hal. Aku suka komik, sejak dulu!

            Aku menghela nafas sejenak setelah menuliskan beberapa ingatan masa lalu yang kugali dari lemari ingatanku. Aku harus berhenti sejenak untuk menjawab panggilan alam. Cuaca dingin ini benar-benar tidak praktis, membuatku terus bolak-balik ke toilet. 

-Bersambung-

2 comments:

  1. wah... bikin diary toh... hekekekeke...
    kenapa gak di LJ ajjjaaa...? biar aku enak baca n komennyaaa huu huu... bisa fangirling an juga di sana *peromosi* kekekekeke

    ReplyDelete
  2. kalo LJ banyakan yang pake orang luar sih... kalo ngepost pake bahasa Indonesia kurang sreg, jadi di sini aja ^^
    follow yak... <3

    ReplyDelete