Saturday, December 18, 2010

Piece 4: The Turning Point

Piece 4

            Ketika aku mengayuh sepeda lipat putih kecilku dalam perjalanan menuju kampus, papan penanda suhu yang terpasang di salah satu jembatan yang kulalui menunjukkan suhu 4 derajat celcius. Tak heran, badanku rasanya menggigil terus. Kedua tanganku yang memegang stang terasa beku, sampai-sampai hampir tak bisa digerakkan (melupakan sarung tangan di saat-saat seperti ini adalah kesalahan besar). Musim dingin sudah benar-benar datang sekarang. Sebentar lagi suhu akan semakin turun, mencapai 0 derajat, dan salju mungkin akan turun—walau teman-temanku bilang salju tidak banyak turun di Kyoto.
            Deretan pohon ichou—ginko—yang selalu kulewati setiap hari pun kini telah gundul. Daun-daun berbentuk kipasnya yang berubah warna menjadi kuning pekat beberapa saat lalu, telah habis berguguran disapu angin. Daun-daun merah pohon momiji favoritku di kampus pun kini tinggal tersisa beberapa helai saja, membuatku menghela nafas sedikit kecewa setiap melihatnya. Musim gugur adalah musim yang cantik, dan sekarang musim itu segera berlalu, digantikan musim dingin yang menusuk tulang.
            Aku berhenti sesaat untuk memungut beberapa helai momiji yang gugur, berpikir untuk me-laminating dan membawanya pulang ke Indonesia. Daun-daun yang cantik. Sejujurnya aku belum puas menikmati keindahan momiji walaupun aku telah mengunjungi banyak tempat musim ini, sengaja untuk melihat warna-warni dedaunannya yang mempesona. Sebut saja Kinkakuji, Arashiyama, Kiyomizudera, Toufukuji, sengaja kudatangi tempat-tempat itu untuk menikmati indahnya momiji. Dan tetap saja aku belum puas. Aku ingin kembali kemari suatu saat nanti. Tekadku bulat sudah.

green, yellow, orange, red... colorful momiji 

nearly winter in Toufukuji

Seperti masa itu, bertahun-tahun lalu, ketika aku membulatkan tekadku.
Tekad untuk menggapai sebuah mimpi.


The Turning Point

            Seingatku waktu itu aku kelas 2 SMP. Di tengah hari-hari yang kulalui dengan mencorat-coret halaman belakang buku catatanku—dan buku catatan teman-temanku—aku mendapat sebuah kabar. Kabar gembira yang terpampang dalam beberapa helai poster di papan-papan pengumuman di sekolah. Poster-poster yang berwarna ungu-kuning itu (benar, aku bahkan masih ingat warnanya) mengabarkan dibukanya sebuah lomba komik berhadiah utama 10 juta rupiah. Jumlah yang tidak sedikit, apalagi untuk anak usia sekolah. Tentu saja aku langsung ingin ikut!
            Aku juga masih ingat, seorang teman dari kelas sebelah—teman sesama penulis komik yang pertama kali kukenal—buru-buru memberitahukan kabar ini padaku dan bertanya apa aku mau ikut. Tentu saja, kujawab dengan mantap bahwa aku memang berencana untuk ikut.
Hari-hari penuh usaha keras menggambar komik pun dimulai. Waktu itu aku dibantu oleh mbak-ku tersayang (dia pasti tak suka aku pakai kata ini) untuk menyelesaikan sebuah cerita komik setebal 30 halaman. Aku mengarang cerita dan membuat sketsa, sementara mbak-ku yang waktu itu masih SMA membantuku mengedit dan mewarnainya dengan komputer. Kami membentuk duet yang kami—lebih tepatnya aku, dengan sedikit egois—beri nama ‘Intifadha Comic’. Setiap hari kami lembur, mengerjakan komik untuk lomba itu sampai tak bisa tidur cukup.
Pekerjaan menulis komik tidaklah mudah. Waktu itu kami juga masih sangat amatir. Benar-benar butuh perjuangan keras untuk menyelesaikan 30 halaman komik itu sebelum batas waktu penutupan lomba. Bahkan mas dan ibu-ku pun harus turun tangan. Waktu itu, mas-ku lah yang turut berpartisipasi memikirkan judul komik 30 halaman perdana kami. Judul yang akhirnya kami pilih waktu itu: ‘Najm, di Antara Berjuta Bintang’. Judul yang—rasanya—terlalu keren untuk komik dengan cerita aneh yang kubuat dengan terburu-buru. Ibuku pun akhirnya juga harus ikut membantu kami mengirimkan komik itu lewat kantor pos, sebab aku dan mbak-ku sudah tidak punya tenaga untuk itu. Menjelang deadline, hari-hari terasa sangat sibuk.
Pengalaman pertama membuat komik (lumayan) panjang itu membuatku sadar, bahwa menjadikan hobi sebagai pekerjaan itu bukan hal mudah. Seberapapun aku senang menggambar komik, tetap saja berat rasanya menghadapi tekanan deadline. Padahal sebelumnya, aku sempat bertekad untuk menjadikan komik sebagai impianku. 

Aku, yang tidak suka bicara di depan banyak orang ini, bisa bicara banyak lewat komik. Aku, yang malas membuka mulut untuk berdebat ini, bisa menyampaikan pendapat lewat komik. 

Komik adalah bahasa keduaku.

Tapi aku sadar, aku tidak (atau mungkin sedikit saja) punya bakat membuat komik. Gambarku biasa-biasa saja. Dan bagiku, seberapapun senangnya menggambar komik, pekerjaan sebagai komikus itu berat! Seandainya aku benar-benar ingin jadi komikus profesional pun, perjalanan yang harus ditempuh juga panjang. Harus banyak latihan. Banyak menggambar. Banyak bercerita.
Maka waktu itu, saat komik kami telah dikirim ke panitia lomba, aku membuat sebuah pertaruhan dengan diriku sendiri.

Jika aku bisa menang dalam lomba ini, aku akan terus menggambar komik. Aku akan mengejar impianku. Seberapapun beratnya. Dan jika aku kalah, maka aku akan berhenti sepenuhnya. Aku tak akan menggambar komik lagi.

            Itulah titik balikku. Dan aku menanti jawaban…


Tooku tooku tsuzuku kono michi wa
Doko e doko e bokura hakonde kureta?
Itsuka itsuka itsuka mieru ka na?
Haruka haruka haruka niji no sora no mukou

(This long, long, never ending road
Where does it lead us to?
Someday, can we see?
The far, far way beyond the rainbow sky
Baby Baby — Kanjani8 — 8UPPERS)

-bersambung-

Monday, December 13, 2010

Piece 3: The Influence

Piece 3

Kangaeru na
Kanjiro ima wo
Tonikaku jikan ga nai n da
Ora ga yaranakya dare ga yaru n da

(Don’t think
Just feel it now
I have no time anyway
If I don’t do it, who will, then?)
Animal magic – Kanjani8 – 8UPPERS)


The Influence

            Hari ini pun aku mau cerita sedikit soal masa lalu. Tapi nggak tau kenapa hari ini lagi males pake bahasa formal. Jadi kita pake bahasa campur aduk aja yah (^w^)v 

Kalau aku nggak salah inget, anime yang pertama kali bikin aku kenal istilah ‘anime’ dan ‘manga’ itu adalah Inuyasha. Waktu aku SMP, anime satu ini nge-boom banget, menggantikan popularitas Rurouni Kenshin alias Samurai X. Bicara soal Samurai X, anime yang satu  itu emang bikin banyak orang jatuh cinta sama dunia per-anime-an. Tapi itu nggak berlaku buatku—awalnya. Aku mulai suka Samurai X justru ketika banyak orang mulai lupa sama serial itu. Kenapa bisa begitu? Alasannya simpel: Kenshin—tokoh utama Samurai X—terlalu kuat. Aku nggak suka tokoh utama yang terlalu heroik! Makanya pada awalnya aku nggak betah ngikutin serial ini. Baru kemudian setelah anime ini di re-run untuk kedua atau ketiga kalinya di TV, aku mulai tertarik nonton, gara-gara seorang karakter: Soujiro Seta! Lalu aku juga mulai suka Sanosuke Sagara, dan sebagainya (tapi tetep nggak suka sama Kenshin). Samurai X pun jadi salah satu anime favoritku saat itu. 

 di Fushimi Inari Shrine, yang (kayanya) jadi latar belakang Samurai X
pas episode tempat persembunyian Shishio

Tapi tetap saja, waktu itu yang membuatku kenal istilah ‘anime’ dan ‘manga’ adalah Inuyasha. Soalnya begitu serial ini diputar di TV, aku jadi rajin browsing tentang serial ini, dan sedikit demi sedikit mulai mengerti dunia per-anime-an. Selain Inuyasha, judul lain yang sangat berpengaruh bagiku saat itu adalah Ufo Baby alias Daa! Daa! Daa!-nya Mika Kawamura. Begitu sukanya aku sama seri yang satu ini, sampai gambarku pun sedikit banyak terpengaruh sama gambar chibi nan moe-nya Mika Kawamura. Bagiku, Ufo Baby adalah salah satu best shoujo manga, biarpun ceritanya agak childish.

Satu lagi yang nggak boleh dilupakan, serial favoritku juga saat itu: Slam Dunk! Dengan Kaede Rukawa-nya yang keren abis \(^o^)/ juga Hunter X Hunter dengan Kurapika-nya yang manis setengah mati (=0w0=)> dan ada juga serial favorit sepanjang masa, Hikaru no Go dengan Akira Toya-nya yang aku suka banget banget (bahasanya makin kacau, nih (-__-‘)). Kayaknya jaman SMP itu jaman paling banyak anime favoritku, deh. I was really into it back then! Di satu sisi (lebih tepatnya masalah kejiwaanku), masa itu adalah masa yang berat, tapi di sisi lain (sisi anime dan manga tentunya), masa itu adalah masa yang paling menyenangkan! Shiawase datta!

            Di waktu-waktu itu juga, akhirnya aku mulai serius menekuni komik sebagai hobi. Mulai dari iseng-iseng bikin karakter, sampai bener-bener mikirin plot cerita dan ngegambar sketsa. Rasa-rasanya di kelas aku lebih banyak menghabiskan waktu buat menggambar daripada buat ngobrol sama teman (lho, kok ngebandinginnya sama ngobrol?! Belajarnya gimana??). Dan aku sangat menikmati itu semua, sampai suatu saat…

I met my turning point.

-Bersambung-

Saturday, December 11, 2010

Piece 2: Menemukan Impian

Piece 2

            Rangkaian mini-rose dan bunga anggrek putih yang kubawa pulang dari kelas ikebana lima hari  lalu itu mulai layu. Di dalam keramik yang kuletakkan di atas meja belajar, tangkai-tangkai mini-rose berkelopak merah anggur itu mulai melengkung, membuatnya terlihat seperti bunga lonceng. Menurutku mini-rose-mirip-lonceng itu manis juga, jadi kubiarkan saja mereka di sana.

 rangkaian ikebana yang mulai layu di atas mejaku

            Aku meninggalkan meja belajar dan melangkah menuju dapur mungilku, meraup beberapa butir anggur dari wadah buah-buahan yang penuh anggur, pir, apel, dan sekantung jeruk pemberian seorang teman. Tersungging senyum di bibirku saat memandang kantung jeruk itu, teringat hari kemarin ketika aku diundang berkunjung ke rumah seorang teman dari Jepang. Pengalaman yang menyenangkan, tetapi aku tidak akan menceritakannya hari ini. 

Sebab sebuah kisah perjalananku menunggu untuk dituliskan.


Menemukan Impian

            Kalau tidak salah, aku sudah menceritakan sedikit tentang masa SD-ku. Masa yang kuhabiskan dengan menggambar ilustrasi komik-sok-Jepang di halaman-halaman belakang  buku tulisku. Ilustrasi komik yang akan membuatmu tertawa saat melihatnya, disebabkan bentuk karakternya yang terlalu unrealistic. Gambar buatanku masa-masa itu memang tidak bisa dibilang bagus, tetapi sampai saat ini aku masih senang melihat-lihat gambar-gambar tersebut jika ada kesempatan (aku menyimpan beberapa buku catatanku saat SD di lemari bukuku di Indonesia). Coretan-coretan tak jelas itu menjadi bukti bahwa aku memang senang komik sejak dulu…
            Masa SD-ku yang menyenangkan dan diwarnai beberapa cerita konyol cinta monyet berakhir dengan—bisa dibilang—damai. Bagiku, masa-masa SD adalah salah satu masa paling menyenangkan dalam hidupku. Masa yang polos, murni, tanpa beban. Dan masa itu berlalu, digantikan dengan masa SMP, yang dalam ingatanku tidak terlalu menyenangkan. Seingatku aku sempat tertekan pada awalnya, menghadapi perubahan dari anak-anak menjadi ABG. Kalau boleh aku mengungkapkan pendapatku secara blak-blakan, anak-anak usia ABG itu punya sifat paling menyebalkan! Bahkan aku sebal pada diriku sendiri di masa itu! Aku yang di bangku SD bersifat terbuka dan termasuk senang bercanda, berubah jadi aku yang pendiam. Aku yang dingin. Aku yang egois. Aku yang penyendiri. Aku yang pemalu.
            Tapi di masa inilah, aku mengalami sebuah titik tolak dalam hidupku.
Dalam masa-masa yang terasa dingin dan berat itu, aku bertemu dengan beberapa orang yang—mungkin—merubahku sedikit demi sedikit menjadi aku yang sekarang. Ada teman yang mengajarkanku untuk menghargai. Ada teman yang (dengan seenaknya) kuanggap rival sehingga aku bisa terus belajar dan berkembang. Tanpa mereka, tak akan ada aku yang saat ini. Di masa ini pulalah, aku mengenal istilah ‘manga’ dan ‘anime’ untuk pertama kalinya. 

Aku pun jatuh cinta.

Jatuh cinta pada dunia manga. Dan mulai berpikir untuk menjadikannya sebuah mimpi…


            Kitto shiawase ga kimi wo matteru
            Tamerau koto naku te wo nobasu n da
            Toozakaru boku wo wasuretemo ii
            Mirai dake wo mite arukidasu n da

            (There must be happiness waiting for you
            Reach your hands without hesitation
            It’s okay to forget me who’s gone away
            Just focus on the future and step ahead)    
    
            (Kitto Shiawase ga kimi wo matteru – Ohkura Tadayoshi – 8UPPERS )

-Bersambung-

Monday, December 6, 2010

Piece 1: Awal Sebuah Mimpi

            Lagu berjudul “Snow White” yang dilantunkan grup Kanjani8 mengalun dari pemutar musik laptopku, mengusir suasana sepi yang menyelubungi kamar mansion nomor 1813. Aku duduk memangku laptop merah tua itu di atas tempat tidur-berlapis-futon-ku. Suhu yang mencapai 10 derajat celcius membuatku terpaksa menyelubungi kakiku dengan dua lapis selimut, yang akan membuatku keringatan setengah mati jika saja aku sedang berada di Indonesia.
Panas yang berasal dari heater listrik yang kuletakkan di atas kursi di sisi kanan tempat tidur terasa menyengat di kulit. Tapi tidak ada pilihan lain, sebab aku belum berlangganan AC. Kalau heater itu kumatikan, aku pasti menggigil kedinginan sampai gigiku bergemeletuk. Tanpa sadar, kugaruk  tanganku yang mulai kering kehilangan kelembaban akibat pengaruh cuaca awal musim dingin. Inilah pengalaman pertamaku menghadapi perubahan empat musim.
Di sini. Jepang.

gerbang kampusku: Kyoto University of Education

Awal Sebuah Mimpi

            Aku masih ingat—walaupun tidak terlalu jelas—bahwa sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah sangat menyukai komik. Kalau tidak salah, waktu itu baru ada sedikit saja judul komik Jepang—manga—yang  diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dan dari  yang sedikit itu aku sangat suka Doraemon, Dragon Ball, Kungfu Boy, dan beberapa serial cantik karya Yu Asagiri yang aku sudah tak ingat lagi apa judulnya. Waktu itu aku juga lumayan sering nonton film kartun Jepang—anime—seperti Digimon atau Pokemon, dan kadang-kadang juga film kartun Amerika semacam Disney, Spiderman dan bahkan X-Men. Waktu itu aku belum kenal istilah manga dan anime, tapi tak bisa dipungkiri beberapa serial favoritku memang berasal dari negeri Sakura. Mungkin karena itu, aku jadi suka menggambar komik, dengan gaya yang meniru aliran manga.
            Aku pun masih ingat, betapa gaya gambarku waktu itu berbeda dengan anak-anak SD pada umumnya. Orangtuaku tahu aku suka menggambar, maka sejak kecil mereka sering mengikutkanku dalam lomba menggambar. Hanya saja belakangan aku baru sadar kalau cara menggambarku memang tidak pas untuk diikutkan dalam lomba menggambar. Umumnya, anak-anak usia SD—dalam lomba menggambar khususnya—akan menggunakan spidol besar untuk menggambar bermacam bentuk, lalu mewarnai bentuk itu dengan pastel warna warni. Aku tidak begitu. Aku akan menggambar pelan-pelan, sedetil yang aku bisa dengan pensil, lalu menebalkannya dengan spidol ukuran kecil, menghapus goresan pensilnya, baru mewarnai gambarku dengan spidol atau pensil warna—sebab pastel terlalu besar untuk digunakan mewarnai gambarku yang kecil-kecil. Makanya aku tidak pernah bisa menyelesaikan gambarku secepat anak-anak lain, karena proses menggambarku terlalu lama. Proses menggambarku itu… bukankah seperti proses menggambar komik?
            Aku mungkin tidak punya bakat menggambar komik dan komik buatanku tak pernah terlalu istimewa. Tetapi aku tahu satu hal. Aku suka komik, sejak dulu!

            Aku menghela nafas sejenak setelah menuliskan beberapa ingatan masa lalu yang kugali dari lemari ingatanku. Aku harus berhenti sejenak untuk menjawab panggilan alam. Cuaca dingin ini benar-benar tidak praktis, membuatku terus bolak-balik ke toilet. 

-Bersambung-